Written by Mang Kabayan |
Monday, 07 December 2009 03:37 |
Filosofi
hidup urang Sunda itu dipegang teguh Anis Djohanis, budayawan dan
seniman yang lebih dikenal sebagai Anis Djatisunda. Umur tak membuatnya
mundur. Bahkan dia makin getol mendalami tradisi Sunda, terutama yang
berkaitan dengan Sunda lama atau Sunda buhun. ”Kalau
berjalan maju setapak, kita ternyata harus mundur satu langkah untuk
melihat hari kemarin. Itulah falsafah hidup yang sesungguhnya,” tutur
Anis yang ditemui di rumahnya, di sebuah gang sempit belakang Masjid
Agung, Kota Sukabumi, Jawa Barat. ”Hari
kemarin itu harus kita lihat, agar kita tahu harus bertindak apa untuk
hari ini. Namun, hari esok harus sudah kita pikirkan, juga untuk esok
lusa,” ujar Anis menjelaskan alasan memilih orientasi tradisi Sunda
buhun. Anis
memilih berorientasi kepada Sunda buhun karena sejarah masa lalu sangat
penting untuk merumuskan rencana hidup hari ini, termasuk dalam soal
tradisi.
”Orientasinya
boleh masa lalu, tetapi implementasinya harus searus dengan zaman
sekarang. Kalau tradisi itu orientasinya masa lalu, kemudian
implementasinya seperti masa lalu, pasti akan dimusuhi banyak orang,”
ujar Anis, penulis lepas untuk sejumlah majalah berbahasa Sunda ini.
Darah
seni Anis sudah terlihat sejak masa sekolah menengah atas. Ketika itu,
sekitar tahun 1960, Anis sudah menguasai seni musik calung, karawitan
sunda, kesenian reog, pewayangan, dan menulis cerita pendek berbahasa
Sunda. Waktu itu dia juga telah mampu menciptakan lagu-lagu Sunda dengan
menggunakan tangga nada diatonis.
Mandiri
Apresiasinya
terhadap kesenian Sunda makin besar ketika ia diterima sebagai pegawai
negeri sipil pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Kota Sukabumi
tahun 1965. Selama periode 1968 hingga tahun 1988, Anis menjadi orang
penting di balik kesuksesan Kota Sukabumi dalam meraih dan
mempertahankan supremasi kebudayaan di Jawa Barat.
Apa yang membuat Anis menjadi orang yang sebegitu penting di balik kesuksesan Kota Sukabumi kala itu?
”Wali
Kota Pak Saleh Wiradikarta, dilanjutkan Wali Kota Soejoed, memberi
keleluasaan kepada saya untuk menggunakan Gedung Juang ’45 sebagai pusat
pengembangan seni. Saya tidak diberi uang sama sekali oleh pemerintah
daerah. Jadi saat itu saya bersama para seniman diminta mandiri dalam
mengelola seni tradisi Sunda. Namun, justru karena tantangan itulah,
seni tradisi dan budaya Sunda ketika itu maju pesat,” kata Anis yang
waktu itu dipercaya menjadi Ketua Badan Koordinasi Kesenian Nasional
Indonesia Cabang Kota Sukabumi.
Oleh
Anis dan sesama seniman, Gedung Juang ’45 dijadikan pusat pertunjukan
kesenian Sunda; segala sesuatu yang berbau kesenian Sunda boleh
dipentaskan di gedung yang berada di seberang Lapangan Merdeka itu.
Bahkan, gedung tersebut juga menjadi sanggar lukis.
”Ketika
tidak dipakai untuk pentas atau latihan, gedung itu kami sewakan. Dari
situlah kami membiayai pengembangan seni dan budaya Sunda di Sukabumi,
sehingga Kota Sukabumi meraih penghargaan sebagai Pelestari Budaya
Daerah Jawa Barat dari Menteri Penerangan Harmoko (ketika itu),” ujar
pendiri Padepokan Seni Kota Sukabumi itu.
Anis
mengimplementasilkan orientasi Sunda buhun dengan menyelenggarakan
teater rakyat yang didahului dengan riset selama dua tahun. Anis
kemudian menemukan jenis kesenian tradisional Sunda buhun yang sudah tak
pernah dipentaskan lagi, yaitu kesenian uyeg. Kesenian uyeg asalnya
merupakan teater rakyat Sunda yang dipentaskan dalam upacara seren taun
ketika zaman Kerajaan Padjadjaran.
Upacara
seren taun yang digelar setiap delapan tahun sekali itu dilakukan untuk
menghormati Sang Hyang Sri (dewi kesuburan padi dan tanaman-tanaman)
serta Sang Hyang Kuwera (dewa kesuburan tanah dan peternakan).
”Dulu,
teater itu dilakukan semalam suntuk. Setelah saya sesuaikan dengan
kondisi masyarakat saat itu, menjadi dua jam saja meski tanpa mengurangi
makna pertunjukan,” kata Anis.
Prihatin
Di tengah nostalgianya terhadap gebyar kesenian Sunda di Kota Sukabumi pada era 1968-1988, Anis kini justru gundah dan prihatin.
”Sekarang sudah tidak tersisa lagi, sulit menghidupkan kembali kesenian Sunda di tengah kondisi seperti ini,” katanya.
Menurut
Anis, orientasi generasi muda sekarang sudah berbeda dengan masa itu.
Kini generasi muda dinilainya lebih mementingkan materi dibandingkan
melestarikan tradisi.
”Sulit
mencari generasi muda yang mau peduli dengan seni tradisi Sunda. Di
sisi lain kesenian modern, seperti dangdut, lebih memikat karena
artis-artinya mudah mencari uang. Jadi banyak orang yang tertarik
(kepada dangdut),” kata Anis.
Dengan
sisa tenaga yang dimilikinya, Anis tetap menyediakan diri untuk
melestarikan tradisi Sunda. Walaupun ia tidak bisa lagi berharap banyak
un-tuk menghidupkan kembali seni Sunda di Kota Sukabumi. Bahkan, di kota
ini pun ha-nya sedikit orang yang tahu siapa Anis Djatisunda dan
sebesar apa kiprahnya pada masa lalu.
”Sekarang saya ibaratnya barang rongsokan,” ujar Anis bergurau.
Sampai
sekarang Anis banyak menghabiskan waktu untuk membagi ilmu yang
dikuasainya sebagai pembicara dalam seminar di komunitas-komunitas
penggiat tradisi Sunda. Ia juga suka berdiskusi dengan para seniman
Sunda. Rumahnya tak pernah sepi dari tamu-tamu yang hendak bertukar
pikiran soal tradisi Sunda dengan pria ini.
Anis
juga ikut serta memberi ide bagi lahirnya Kampung Budaya Sindangbarang
di kaki Gunung Salak, Kabupaten Bogor, yang digagas seniman Bogor,
Mikami Sumawijaya, tiga tahun yang lalu. (FX Puniman, Wartawan di Bogor)
ANIS DJOHANIS
•
Lahir: Jampang Kulon, Kabupaten Sukabumi, 7 Mei 1939 • Pendidikan : -
Sekolah Rakyat III, Kebon Jati, Kota Sukabumi - Sekolah Menengah Pertama
Tamansiswa, Kota Sukabumi - Sekolah Menengah Atas Persatuan Guru
Republik Indonesia, Kota Sukabumi • Istri: Yuyun Yunasah (59) • Anak: -
Isma Sundamaya (42) - Wanda Sundahudaya (40) - Wilang Sundakalangan (34)
• Cucu: lima orang • Pekerjaan: Pegawai negeri sipil bidang kebudayaan
(1965-1999) • Aktivitas: - Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Hanjuang,
bergerak dalam bidang seni, budaya daerah dan pariwisata - Penulis lepas
majalah Sunda - Sekretaris/Koordinator Pelatih Organisasi Senam
Pernapasan Mahatama Indonesia Cabang Tanjungsari Sukabumi - Mitra
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia • Karya: Kehidupan Masyarakat
Kanekes (atau Baduy), diterbitkan Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung: 1986
Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Desember 2009
Anis Djatisunda, Jati Diri Sunda "Buhun"
-- A Handoko dan FX Puniman
Ka
hareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala salengkah. Ka kamari pulang
anting, isukan purug anjangan. Ulah poho, tempa-tempo ka pageto. (Ke
depan berjalan setapak, ke belakang mundur selangkah. Ke kemarin
pulang-pergi, ke besok harus sering jenguk. Jangan lupa, lihat-lihat
esok lusa).
Anis Djohanis (KOMPAS/A HANDOKO)
|
SENI TEATER SUNDA
Thursday, June 7, 2012
Anis Djatisunda, Jati Diri Sunda "Buhun"
Thursday, October 8, 2009
Geliat Naskah Drama Sunda
Oleh Dian Hendrayana
Sutradara teater R Dadi P Danusubrata dari Teater Sunda Kiwari atau TSK kerap kali mengeluhkan minimnya naskah drama berbahasa Sunda. Karena itu, demi kebutuhan pergelaran mandiri, Dadi bersama TSK-nya harus bergumul dengan naskah-naskah lama yang telah berkali-kali dipentaskan. Naskah-naskah itu berkutat pada naskah karya RH Hidayat Suryalaga, Wahyu Wibisana, dan Yosep Iskandar.
TSK merupakan kelompok teater modern berbahasa Sunda yang berdiri 16 Januari 32 tahun silam, dibidani antara lain oleh Dadi dan RH Hidayat Suryalaga. Hingga sekarang, TSK masih merupakan barometer teater Sunda modern. Salah satu kegiatannya adalah melaksanakan Pasanggiri Drama Basa Sunda (PDBS) setiap dua tahun sekali sejak 1990.
Dalam karya-karyanya, Hidayat lebih cenderung menulis naskah absurd, di mana tokoh, penokohan, dan setting (ruang dan waktu) kerap tidak pernah ditemui dalam dunia nyata. Kendati demikian, naskah-naskah Hidayat sarat dengan muatan moral, kritik sosial, serta parodi politik yang tengah berlaku saat naskah itu dipergelarkan. Dengan begitu, naskah-naskah Hidayat sangat longgar untuk terus dipentaskan kendati rezim sudah berganti dan kebijakan telah berubah.
Ia berbeda dengan Wahyu yang cenderung memilih bentuk surealis. Tengok saja Tonggeret Banen (1967) dan Tukang Asahan (1978). Keduanya merupakan naskah yang telah beberapa kali dipentaskan TSK. Demikian pula dengan Si Kabayan. Naskah yang diangkat dari farabel Sunda ini seolah mematangkan Wahyu dalam mendulang tema bernuansa klasik. Hal itu kemudian menjadi paralel pada naskah-naskah gending karesmennya, yang cukup gemilang dalam mengetengahkan cerita-cerita buhun. Sebagai catatan, hingga sekarang naskah Wahyu berjudul Tonggeret Banen tampaknya masih merupakan naskah drama basa Sunda yang terbilang sangat bagus.
Penulis naskah drama Sunda, Yosep Iskandar, pada dasarnya memiliki kemiripan dengan Wahyu yang gemar menuliskan naskah pergelaran dengan mengambil setting masa silam. Maka, tengoklah naskahnya yang berjudul Pasunda Bubat yang menceritakan gugurnya Raja Sunda serta Dyah Pitaloka pada abad XIV. Demikian halnya dengan naskah Sri Baduga Maharaja yang mengangkat tokoh Prabu Siliwangi.
Selebihnya, selain menulis naskah drama modern, Yosep pun beberapa kali menulis naskah longser. Salah satu naskahnya, Juag Toed (1985) yang dimainkan oleh Tati Saleh, Aom Kusman, dan Rahmat Hidayat, cukup berhasil menggoyang isu seni pertunjukan teater rakyat pada tahun 1980-an.
Adapun kesamaan dari ketiga penulis naskah drama modern ini adalah sama-sama berkemampuan menulis naskah gending karesmen dengan baik. Terutama Wahyu Wibisana, dia kemudian menggegerkan pada tahun 1960-an lewat garapan monumentalnya, Galunggung Ngadeg Tumenggung.
Di paruh akhir dekade 1980-an, kemudian muncul nama Arthur S Nalan dengan naskah Oleng Panganten. Seperti diketahui, Arthur telah lebih dulu terjun dalam penulisan naskah drama berbahasa Indonesia. Pada dekade 1990-an, naskah-naskah Arthur menjadi langganan yang dipinang TSK untuk dijadikan materi PDBS. Maka, lahirlah naskah-naskah Sorabi Legendaris, Kapelet ku Supermarket, atau Kasur Butut.
Setelah era Arthur, muncul pula nama-nama lain seperti Teddy AN Muhtadin (Pasaran), Enang Rokajat Asura (Mega-Mega), Dede Sukmadi Dukat (Talaga Warna), Eddy D Iskandar (Repeh-Ripuh), Rin Candraresmi (Satutas Pukul Dua Welas), Darpan (Nagaramaca), dan Nunu Nazarudin Azhar (Blor dan Cangkilung). Untuk nama terakhir, tampaknya TSK cukup menggantungkan harapan lewat naskah-naskah terbaiknya. Di dunia sastra Sunda, Nunu pun termasuk penyair serta prosais yang sangat menjanjikan.
Adaptasi
Minimnya naskah drama berbahasa Sunda memang tidak saja dikeluhkan oleh TSK. Kelompok-kelompok teater yang tersebar hampir di seluruh Jawa Barat pun terimbas apa yang dirasakan TSK. Sebut saja Tepass Unpad, Teater Lakon UPI, Teater Citraresmi Unwim, Teater Asap Ujungberung, Teater Lorong Subang, Hidraga Garut, dan lain-lain.
Untuk satu pementasannya pada 1993, Tepass Unpad sempat mengadaptasi naskah cerpen Gadis Penyanyi Koor karya Anton Chekov guna dijadikan naskah drama. Karya tersebut diadaptasi Teddy AN Muhtadin menjadi Sinden. Demikian pula dengan Teater Lakon UPI, tahun 1995 menyulap carita pondok (carpon) Buah Limus Murag ku Angin karya Karna Yudibrata untuk dijadikan naskah drama. Selain itu, jauh sebelumnya, kelompok teater dari UPI (dulu IKIP) itu pernah beberapa kali mengadaptasi carpon karya Godi Suwarna untuk dijadikan naskah drama.
Pengadaptasian carpon menjadi naskah drama sesungguhnya merupakan kerja kreatif juga. Di situ terdapat proses kecerdasan saat mengalihkan tokoh dan penokohan serta setting untuk diimpresikan pada kebutuhan naskah drama. Itu pula yang pada 1988 dilakukan Arthur terhadap naskah Impian di Tengah Musim karya William Shakespeare menjadi naskah Oleng Panganten, atau Hidayat terhadap naskah Julius Caesar yang juga ditulis William Shakespeare.
Akhir-akhir ini, pengarang Rosyid E Abby kepincut menerjemahkan naskah drama bahasa Indonesia untuk diserahkan kepada TSK sebagai materi naskah PDBS. Terakhir, Rosyid menerjemahkan naskah Akal Bulus Scapin karya Moliere menjadi Akalna Si Apin.
“Pasanggiri”
Selain adaptasi dari satu genre sastra ke dalam naskah drama, tentu saja kegiatan pasanggiri (lomba) mengarang drama basa Sunda menjadi alternatif lain yang mengundang proses kreatif lebih nyata. Hal itu telah dilakukan Paguyuban Pasundan pada 1996. Sebelas tahun setelah itu, Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS) melakukan hal serupa. Baik Paguyuban Pasundan maupun PPSS dalam melaksanakan tugas mulianya itu bekerja sama dengan TSK.
Tahun 1996, Paguyuban Pasundan mengukuhkan naskah Blor karya Nunu sebagai naskah terbaik. Naskah tersebut telah dipentaskan di panggung teater oleh TSK dan sempat ditayangkan di TVRI. Tampaknya sastrawan Nunu saat ini tengah memanen buah kreatif terbaiknya setelah naskah miliknya, Jeblog, dinobatkan pula sebagai naskah terbaik pada pasanggiri naskah drama PPSS.
Dari kegiatan pasanggiri mengarang naskah drama PPSS yang pemenangnya diumumkan Oktober 2007, selain mengukuhkan naskah karya Nunu, dewan juri pun memilih naskah Rorongo (Arma Djunaedi), Badog (Dhipa Galuh Purba), dan Randu Jalaprang (Tatang Sumarsono) menjadi naskah terpilih dan berhak disertakan dalam PDBS TSK bulan Februari 2008. Dengan begitu, sedikitnya ada empat naskah drama basa Sunda terbaru yang oleh TSK dinyatakan layak dipergelarkan. Percaturan naskah drama Sunda pun mulai menggeliat.
Pendulangan naskah drama melalui pasanggiri tentu saja akan membantu pengayaan naskah drama berbahasa Sunda. Kegiatan pasanggiri yang konsisten juga akan mampu memupus keluhan Dadi bersama TSK-nya, atau kelompok-kelompok teater lainnya, yang sempat limbung mencari-cari naskah yang layak untuk dipresentasikan kepada penonton. Maka, lewat pasanggiri, kini telah lahir penulis naskah drama basa Sunda yang bisa dijadikan tumpuan harapan. Selamat berkiprah.
Sumber: Kompas, 01/12/2007